KHUTBAH PERTAMA:
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ”.
“يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً”.
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً”.
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
Jama’ah Jum’at rahimakumullah…
Tiada kata yang paling pantas kita senandungkan pada hari yang berbahagia ini melainkan kata-kata syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mencurahkan kenikmatan- kepada kita sehingga kita berkumpul dalam majelis ini. Kita realisasikan rasa syukur kita dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Kemudian tidak lupa kami wasiatkan kepada diri kami pribadi dan kepada jamaah semuanya, marilah kita tingkatkan kualitas iman dan taqwa kita, karena keimanan dan ketaqwaan merupakan sebaik-baik bekal menuju akhirat kelak.
Jama’ah Jum’at ‘azzakumullah…
“Pisau bermata dua” begitulah kira-kira ungkapan yang biasa dipakai untuk menggambarkan sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan maupun keburukan dalam satu waktu sekaligus. Nampaknya ungkapan tersebut, amat cocok untuk menggambarkan efek media massa, cetak maupun elektronik. Sebab bisa mendatangkan kebaikan sekaligus bisa pula menebarkan keburukan.
Mari kita putar ingatan kita ke belakang. Beberapa puluh tahun lalu, sebelum gebyar media -terutama media elektronik- menggelegar. Bagaimana perilaku masyarakat saat itu? Terutama mengenai pakaian yang dikenakan kaum hawa. Masih terekam jelas di dalam ingatan kita, bahwa saat itu para wanita lumayan menjaga aurat mereka. Sehingga manakala mereka keluar rumah, mayoritas menggunakan pakaian panjang. Hanya segelintir wanita yang berani mengenakan pakaian seronok. Sebab busana model tersebut telah identik dengan busana perempuan ‘nakal’. Namun lihatlah di zaman ini. Pemandangan wanita dewasa keluar rumah hanya dengan menggunakan celana pendek sudah amat biasa, bahkan hingga di pelosok-pelosok desa. Apa gerangan yang menyebabkan pergeseran perilaku tersebut? Salah satu penyebab terbesarnya adalah gempuran dahsyat media, terutama televisi yang tidak henti-hentinya menyajikan tayangan-tayangan yang menampilkan perilaku tidak terpuji tersebut. Sehingga sesuatu yang dahulunya dianggap aib berubah menjadi sesuatu yang amat biasa.
Namun sebaliknya, peran media dalam menebarkan kebaikan juga tidak bisa dipungkiri. Di mana pada zaman ini, kemudahan untuk menuntut ilmu agama baik melalui media cetak maupun elektronik amat terasa. Kajian-kajian Islam bisa merambah seantero penjuru dunia dan bisa dinikmati oleh siapa saja, tanpa mampu dibatasi jarak maupun waktu.
Sidang Jum’at yang berbahagia…
Begitulah sedikit gambaran tentang dampak positif maupun negatif media massa. Jika demikian realitanya, bagaimanakah seharusnya muslim bersikap? Apakah wajib mengucilkan diri dan menutup mata rapat-rapat dari berbagai media tadi? Ataukah sebaliknya menelan mentah-mentah segala apa yang disajikan tanpa memfilternya?
Tentu saja, seorang muslim harus bersikap cerdas dan bijak dalam menghadapi segala sesuatu, termasuk fenomena gempuran dahsyat media massa. Cerdas dalam arti melandaskan sikapnya di atas pedoman agama yakni kitab dan sunnah, juga senantiasa mengambil arahan dan petunjuk dari para ulama. Adapun sikap bijak berarti berusaha memilah dan memilih mana yang bermanfaat dan mana yang sebaliknya, yakni yang berbahaya. Lalu mengambil yang bermanfaat serta meninggalkan yang berbahaya.
Para hadirin dan hadirat rahimakumullah..
Berikut kami bawakan beberapa rambu-rambu dalam menyikapi media, dengan harapan semoga kita bisa maksimal dalam memetik nilai-nilai positif yang dikandungnya, sekaligus meminimalisir dampak buruk yang ada di dalamnya.
Rambu Pertama: Media membawa misi pemiliknya
Media cetak maupun elektronik tentu bukanlah barang yang tak bertuan. Dia dimiliki oleh orang-orang yang memiliki ideologi dan keyakinan. Satu hal yang teramat disayangkan sering diabaikan oleh para penikmat media, adalah pemahaman bahwa media pasti membawa misi. Dan misi tersebut tergantung ideologi yang dianut pemilik media tersebut. Andaikan ideologi yang diusung baik maka akan berdampak positif bagi misi media yang dimilikinya. Sebaliknya bila ideologinya buruk maka tentu akan berdampak negatif bagi misi medianya.
Sehingga amat keliru, apabila seorang muslim menelan mentah-mentah setiap berita atau tayangan yang disajikan media. Tanpa berusaha mencerna, misi apakah yang dibawa oleh tayangan dan berita tersebut. Kekeliruan inilah yang kemudian secara pelan-pelan merubah pola pikir seseorang seringkali tanpa ia rasa.
Bahkan bisa jadi sampai taraf merubah keyakinan agamanya atau minimal ia mulai ragu terhadap keyakinannya. Ini semua bisa jadi merupakan salah satu dampak buruk media.
Allah ta’ala mengingatkan,
“الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُم مِّن بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُواْ اللّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ”.
Artinya: “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma´ruf dan mereka berlaku kikir. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasiq.” QS. At-Taubah (9): 67.
Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan salah satu misi kaum munafikin. Yakni menyuruh yang mungkar (yang buruk) dan melarang yang ma’ruf (yang baik) melalui media apapun yang mungkin mereka gunakan. Itulah salah satu makar mereka dalam menghancurkan kaum muslimin.
Jama’ah shalat Jum’at yang kami hormati…
Rambu Kedua: Tidak menelan mentah-mentah setiap berita
Satu hal yang harus selalu kita ingat, bahwa media tidak lepas dari kepentingan. Entah itu kepentingan bisnis maupun kepentingan politik. Sehingga berita yang disajikan pun seringkali merupakan representasi atau perwakilan dari kepentingan tersebut.
Menyoal kepentingan bisnis, tentu pemilik dan para awak media akan berusaha mencari berita-berita atau konten-konten yang bisa mendongkrak oplah medianya atau meningkatkan rating acaranya. Terlepas apakah berita tersebut mendidik atau tidak.
Adapun kepentingan politik, maka ini sejatinya juga memiliki kaitan erat dengan bisnis. Mana yang bisa menghasilkan keuntungan dan bayaran yang besar, maka itulah yang dikedepankan. Terlepas dari barometer pertimbangan benar atau tidak dan haq atau batil.
Sehingga dengan sokongan dana yang besar juga permainan media, bisa jadi tokoh yang sebenarnya buruk dan tidak terkenal bisa mendadak disulap menjadi tokoh ‘superhero’ atau satrio piningit tanpa cacat atau apapun istilahnya. Sebaliknya tokoh yang baik bisa dibuat buruk muka dengan pemberitaan-pemberitaan negatif secara intensif.
Maka, tidak selayaknya seorang muslim menjadi bulan-bulanan korban media. Sebab sejatinya mereka telah memiliki panduan yang jelas dalam menyikapi berita. Sebagaimana dijelaskan Allah ta’ala dalam firman-Nya,
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ”.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” QS. Al Hujurat (49): 6.
Ayat ini menjadi dasar bagi setiap muslim dalam menyikapi berita yang datang dari manusia. Jika ada orang fasiq membawa berita, maka sikap orang beriman adalah: Mencari penjelasan (klarifikasi) terlebih dahulu, sampai ditemuinya kebenaran berita itu, barulah ia mempercayainya. Kalau berita itu tidak valid / tidak benar, maka jangan dipercaya. Jadi hendaklah ber-tabayyun terlebih dahulu, baru suatu berita itu disikapi. Jangan sampai beritanya belum jelas kebenarannya tapi sudah disikapi, sebab yang demikian ini adalah tidak sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Allah ta’ala.
Dalam ayat di atas, terhadap orang fasiq yang masih muslim saja kita harus menyikapi suatu berita itu dengan dua sikap; bisa jadi berita itu benar, dan bisa jadi pula berita itu dusta / salah. Itu terhadap orang fasiq. Nah, bagaimana halnya apabila berita itu datang dari orang-orang kafir? Tentunya mesti lebih selektif lagi. Tidak langsung dengan mudahnya percaya seratus persen pada berita yang datang dari orang kafir.
Yang mengherankan, akibat karena kejahilannya, sebagian kaum Muslimin saat menerima berita dari media massa (baik televisi / koran / majalah / buletin / radio / internet, dll) yang mayoritas dimiliki oleh orang-orang Yahudi, ia langsung dengan mudahnya percaya begitu saja. Ia tidak sadar bahwa di balik pemberitaan media massa Yahudi itu, terdapat begitu banyak propaganda (sebagaimana telah dijelaskan dalam Protokolat Zionisme dan Program-program Internasional Freemasonry) untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.
Anehnya, di sisi lain, apabila ia membaca berita dari Al Qur’an dan dari Hadits yang sahih, ia masih punya banyak pertimbangan ini dan itu. Ia berdalih dengan berbagai macam dalih: “Ah, ini kan sudah tidak sesuai dengan kondisi zaman sekarang…” / “Hadits ini memang benar, tapi kalau diamalkan… wah nanti kita bertentangan dengan kebiasaan orang kebanyakan…” / “Aduh, nanti kita dicap aliran fundamentalis”, dan berbagai jenis dalih dan alasan, yang sebenarnya berpangkal dari kurangnya iman dalam dirinya sendiri.
Padahal apabila ia benar seorang muslim, semestinya sikapnya hanyalah satu yakni: “Sami’na wa atho’na” (aku dengar dan aku taat) pada apa-apa yang datang dari Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam.
Jadi sebenarnya sedemikian mudah, gamblang dan praktis bagi seorang muslim untuk menyikapi suatu berita. Karena kaidah dasarnya adalah: Ia semestinya langsung membenarkan berita yang datang dari Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam. Di sisi lain ia menyikapi berita dari media massa manusia itu dengan dua sikap. Bisa jadi berita itu benar dan bisa jadi berita itu salah. Berita itu tergolong benar apabila sesuai dengan apa yang datang dari Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam. Dan berita itu tergolong dusta / salah apabila tidak sesuai dengan apa yang datang dari Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah…
Rambu Ketiga: Urgensi ‘Imunisasi’ akidah
Menghadapi dahsyatnya gempuran media, supaya seorang muslim tidak mudah terombang-ambing, maka ia perlu memperkokoh akidah dan keyakinannya. Dengan cara terus-menerus secara rutin, di bawah bimbingan para ulama, mempelajari prinsip-prinsip dasar Islam. Lalu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga ia akan menjadi sosok yang tegar sekokoh karang di lautan, sekalipun digempur berbagai badai gelombang dahsyat.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ”
“Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan baginya, maka Allah akan jadikan ia paham terhadap agamanya”. HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu.
Selain rajin menghadiri majlis taklim, agar selamat, seorang muslim juga tertuntut untuk senantiasa memohon kepada Allah hidayah dan taufik menuju jalan yang diridhai-Nya.
بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم، ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم، أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم ولكافة المسلمين من كل ذنب، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.
KHUTBAH KEDUA:
الْحَمْدُ للهِ “غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ”، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ لاَ نِدَّ لَهُ سُبْحَانَهُ وَلاَ شَبِيْهَ وَلاَ مَثِيْلَ وَلاَ نَظِيْرَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْبَشِيْرُ النَّذِيْرُ وَالسِّرَاجُ الْمُنِيْرُ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَكُلِّ تَابِعٍ مُسْتَنِيْرٍ.
Sidang Jum’at yang kami hormati…
Apa yang kami sampaikan di khutbah pertama tadi bukanlah dalam rangka men-generalisir seluruh media massa. Namun sekedar memotivasi kaum muslimin agar bersikap bijak dan cerdas dalam menghadapi tayangan serta berita yang mereka konsumsi. Sebab alhamdulillah masih ada media yang relatif menjunjung tinggi objektifitas dan independensi, sekalipun harus beresiko ‘kurang lakunya’ media mereka. Sebab berani melawan arus isu mainstream yang menggurita.
Melalui mimbar ini, kami juga ingin memotivasi pihak-pihak yang berkompeten, untuk menjadi pemain bukan sekedar penonton, menjadi subjek bukan sekedar objek dalam dunia media massa. Itu semua dalam rangka niat suci membela agama Allah.
Sekaligus kami juga mengingatkan kepada para pegiat media agar memikirkan masak-masak manakala akan memuat apapun di medianya. Janganlah pertimbangan utamanya sekedar mencari keuntungan duniawi belaka. Namun ingatlah bahwa setiap huruf yang kita ucapkan dan tulis ada resikonya kelak di akhirat.
Rasul yang mulia shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِى بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ”.
“Terkadang seorang hamba mengucapkan kalimat yang tidak ia sadari (dampaknya). Ternyata mengakibatkan ia terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya sejauh jarak antara timur dan barat”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
هذا؛ وصلوا وسلموا –رحمكم الله– على الصادق الأمين؛ كما أمركم بذلك مولاكم رب العالمين، فقال سبحانه: “إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً”.
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد, اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد.
ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين
ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم
ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين. أقيموا الصلاة